Saturday, March 23, 2013

Dynand Fariz


Kesuksesan Jember Fashion Carnaval (JFC), tak lepas dari sosok Dynand Fariz. Fariz ternyata pelopor sekaligus Presiden JFC Center. Event yang diciptakan alumnus IKIP Negeri (sekarang Universitas Negeri Surabaya / Unesa) ini, telah mengubah Kabupaten Jember menjadi kota mode layaknya Paris dan Itali.

Dengan tekad dan kemauan yang kuat, Fariz mewujudkan mimpi-mimpi masa kecilnya. Sebab, pria kelahiran Desa Garahan, Kecamatan Silo, Jember ini, merasa minder dengan tempat lahirnya itu.

Kekecewaan fariz ternyata menjadi cambuk tersendiri buatnya. Dia kemudian berusaha menciptakan ide untuk merubah Jember menjadi kota mode yang sangat luar biasa.


Even JFC biasanya melibatkan ratusan model yang berjalan sepanjang 3,5 kilometer di jalan utama Kota Jember. Acara yang saban tahun digelar ini ternyata mampu menarik perhatian dunia. Jember kemudian dianggap sebagai kota artistik yang sangat luar bisa. Apalagi ratusan model yang ditampilkan, bukanlah model-model profesional yang terbiasa berlenggak-lenggok di atas catwalk.

Penampilan mereka seolah menabrak tatanan dunia fashion yang selama ini berkiblat pada keglamoran. 

Sedikit demi sedikit mereka merubah Jember menjadi kota mode dan memang hal itu bukan sekadar mimpi. Kegiatan ini menjadi perbincangan di kalangan fashion internasional.

Sejak digelar pada 1 Januari 2001 silam, kini masyarakat Jember tersadar kalau kota kelahirannya semakin dikenal dunia. Wasib menambahkan, sebelum mengubah Jember menjadi kota mode bak Paris dan Itali, Fariz pernah mencoba peruntungan mengikuti program beasiswa yang disponsori sekolah mode ESMOD di Jakarta, tahun 2000 silam.

Sepulang dari Paris, Fariz mendirikan rumah mode yang berkiblat pada tren fashion dunia. Rumah mode yang diberi nama 'House of Dynand Fariz' itu terletak di Jember.

Ide lain Fariz yang dinilai tak masuk akan adalah karnaval fashion di mana pesertanya anak-anak muda dari desa terpencil yang tak berpengalaman di dunia fashion. Namun, ide liarnya itu, menjadi perhatian media, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Alhasil, kondisi sosiologis masyarakat Jember yang religius dan adem-ayem, tiba-tiba dikejutkan parade fashion layaknya kota-kota metropolitan. Apalagi yang diangkat tren-tren dunia.

Berbagai strategi dirancang oleh Fariz agar karnaval ini terus berjalan misalnya dengan mengajak partisipasi anak remaja. Sebab, menurut Fariz, seperti yang diceritakan Wasib dan Slamet, kaum remaja adalah makhluk pemimpi dan tugas orang dewasalah mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Sekadar diketahui, Karnaval Busana Jember atau sering disebut JFC ini, adalah sebuah even karnaval busana yang setiap tahun digelar di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sebanyak 400-an peserta berkarnaval, berfashion run way and dance, di jalan utama Kabupaten Jember. Event itu, disaksikan oleh ratusan ribu penonton di kanan dan kiri jalan.

Mereka terbagi dalam delapan defile yang masing-masing defile mencerminkan tren busana kontemporer. Defile pertama adalah defile Archipelago yang mengangkat tema busana nasional dari daerah tertentu secara berkala seperti Jawa, Bali, Sumatera, dan seterusnya.

Defile lainnya mengangkat tema fashion yang sedang trend apakah dari suatu negara, kelompok tertentu, film, kejadian atau peristiwa global lainnya. Semua busana dibuat dalam bentuk kostum yang kesemuanya dikompetisikan untuk meraih penghargaan-penghargaan. Dan kini, JFC telah berusia 12 tahun sejak kali pertama digelar tahun 2001.

JFC sudah ada sejak tahun 2002 tapi belum semeriah sekarang. Pesertanya cuma 30 orang. Yang jelas, ini bentuk kecintaan pada tanah kelahiran saya. Dalam hati kecil, saya ingin Jember punya sesuatu yang tidak kalah dengan kota lain. Saya mulai menggali ide agar Jember dikenal mancanegara. Memang terlalu muluk, tapi saya yakin bisa melakukannya.

Saya percaya, kota-kota besar dan ternama seperti Paris dan Milan, dulunya juga kota kecil yang tidak dikenal masyarakat. Ketika ada salah seorang warganya punya ide cemerlang menciptakan suatu yang lain, kota itu jadi dikenal sampai saat ini. Nah, cita-cita saya, Jember juga bisa seperti itu. 

Lalu, karena saya berlatar belakang fashion, muncul ide membuat fashion carnaval. Saya yakin, fashion bisa dijadikan wahana karena fashion milik semua orang, bukan hak golongan tertentu saja. Selama ini, kalau berbicara fashion, yang terbayang pasti cantik, modelnya tinggi semampai, kaya, dan diselenggarakan di hotel mewah. Pandangan ini membuat masyarakat bawah seolah tak berhak memiliki. Padahal, fashion milik semu orang. Orang cantik, jelek, hitam, pendek, miskin, berhak terlibat di dalamnya. Yang bikin fashion menjadi elit, kan, status sosial seseorang. Padahal kita harus ingat, fashion adalah untuk kehidupan. Tapi bagi kalangan tertentu, fashion dijadikan sebagai gaya hidup. Sejak manusia lahir sampai mati, fashion sudah melekat pada diri setiap orang.

Bayi lahir, untuk masyarakat Jawa, kan, dibedong dengan kain. Biasanya, warna kain dicari yang semanis mungkin. Ini fashion. Lalu, biasanya ibu bayi kalau membelikan baju, dipadupadankan dengan pakaian lainnya. Ini juga sudah fashion. Belum lagi kalau sudah remaja, pakaiannya selalu diserasikan dengan aksesoris tubuh lain. Ini menunjukkan, fashion melekat sejak orang lahir sampai akhir hayatnya.

Awalnya saya sampaikan ide pada anak buah saya di Dynand Fariz Centre (DFC) yang jumlahnya sekitar 20-an orang. Mereka memang sudah bergerak di bidang fashion di Jember. Ternyata mereka mendukung. Mereka pun saya gembleng, saya ajari teknik yang benar, bagaimana mereka berpenampilan di catwalk layaknya peragawan dan peragwati. Selain itu, masing-masing juga saya ajari berdandan dengan benar.

Soal busana juga demikian. Saya beri ide berupa gambar-gambar orang beserta busananya yang saya ambil dari majalah. Dari gambar itu, anak buah saya membuat busana sendiri dengan tambahan kreasi masing-masing. Nah, setelah selesai, Minggu pagi mereka karnaval keliling kampung di sekitar lokasi DFC. Layaknya seorang model bergaya, 20 orang itu keluar-masuk kampung sambil bergaya. Kalau kami dilihat warga, sudah senang minta ampun. Pokoknya, kalau ingat saat itu, gembira, lucu, juga mengharukan. 

Ternyata tanggapan masyarakat positif. Saya jadi tergerak menjaring peserta lebih banyak. Caranya, masuk ke sekolah-sekolah untuk presentasi konsep. Soal diterima atau tidak, bagi saya tidak penting. Yang penting, mereka mau dengar gagasan saya. Ada yang menerima, ada yang mencibir. Bagi saya, tak masalah, yang penting mereka sudah mendengarkan.

Setelah karnaval berkala di sekitar kampung, lokasi diperluas. Kali ini di alun-alun. Peserta sudah naik dua kali lipat. Saya sengaja pilih Minggu pagi karena saat itu di alun-alun banyak orang berkumpul dan olahraga. Ternyata masyarakat tambah antusias. Kami pun ikut karnaval 17-an. 

Tahun 2002, untuk pertama kali, JFC ikut karnaval tahun baru sekaligus memperingati HUT Jember. Ternyata saat acara hujan lebat. Saya kagum, anak-anak bersikukuh jalan meski hujan. Kami tidak peduli kendati make up maupun kostum jadi rusak. Anak-anak tetap dengan riang bergaya di sepanjang jalan. Di sanalah masyarakat semakin kagum akan kesungguhan kami.

Sejak itu, semakin banyak anak muda tertarik dan bergabung. Termasuk anak SD sampai SMA yang berasal dari pinggiran dengan keadaan ekonomi pas-pasan. Betapa pun, dunia fashion masih asing bagi mereka. Dengan telaten, saya bimbing dan motivasi. Saya tekankan, peragawati tak harus cantik atau putih. Mereka makin semangat. Pesertanya membludak hingga 450 orang.


Sumber :
merdeka.com
jemberfashioncarnaval.com
tabloidnova.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts